Thursday 19 February 2015

Pengalaman Beasiswa S1 Turki Chapter#4 Ketinggalan Kereta


Di suatu hari di siang yang terik, sepulang sekolah saya bersiap untuk pergi menge-check email dan mau berselancar ria di internet. Kemudian tak berapa lama saya sungguh terkejut. Mendapatkan surat ini lebih bahagia daripada mendapatkan surat cinta. (emang pernah dapet?)
Saya diterima interview! Itu artinya lolos dokumen! Wow, sungguh menyenangkan sekali. Pengen melayang aja rasanya. Cepat cepat saya langsung memikirkan cara untuk capcus ke Jakarta naik kereta tanggal 6 Juli 2013. Karena kalau naik bus bisa bisa muntah mabuk dimabuk kepayang. Saya langsung lah pergi ke rumah keponakan saya yang imut banget namanya Amel dan mengajaknya ke Madiun untuk beli tiket. Padahal masih sekitar 1 minggu lagi. Yah begitulah kebiasaan para pemberi beasiswa. Pengumuman interview dikirim seminggu sebelum testnya. Perjalanan ini... terasa sangaattttt..... ah ya sudahlah

Pengumuman SNMPTN
Sudah deg-deg an dan gak sabar untuk menerima hasil SNMPTN ini.  Sebagian besar teman-teman mengirimkan SMS apakah saya diterima atau tidak. Saya buka internet dengan perasaan yang campur-campur seperti es campur. Entah bahagia atau sedih, setelah lihat ini. Saya teriak permirsa dan yaaaaaaaaaakkkkkkk akhirnya saya tidak diterima jalur SNMPTN kali ini. Jurusan Biologi. Apalagi di UI. Sakitnya tuh di sini... 

Pengembaraan seorang diri
Waktu untuk interview terasa dekat sekali, gak kerasa besoknya harus ke Jakarta. Tiket PP sudah di tangan. Lalu apa lagi ya? Kok masih ada yang kurang rasanya? Hmm.. Oh ya. Surga di telapak kaki ibu. Dan aku belum bilang kalau besok mau pergi. Saya pergi ke dapur, gadis agak besar yang malas membantu ibu memasak ini pergi ke dapur.. sumber kehidupan dan peradaban kami serumah. Saya bilang ke ibunda tersayang tercinta bahwasanya besok saya akan pergi ke Jakarta. Dan yeah, jawabannya seperti yang sudah dapat diduga sebelumnya. Ibu saya tak mengijinkan pergi. Alasannya sederhana, saya perempuan. Dan Jakarta, yeah sungguh sangat kejam sepertinya untuk makhluk macam kami ini. Banyak kejahatan kriminal mengintai keselamatan kami. Kekhawatiran ibu sangat beralasan. Ia pernah hidup di Jakarta sebelum akhirnya bertemu dengan ayah saya. Ciyeeee.
Saya jelaskan detailnya kenapa saya akan pergi, walaupun tidak sempat untuk menerima keputusan ini pada awalnya...hingga dia relakan saya pergi dengan berat hati. 

HARI H-1 INTERVIEW
Tik tok tik tok tik tok.. Jam tangan menunjukkan saya harus pergi sebelum jam 2 di Stasiun Madiun. Bersama sohib terimut di dunia, Astuti. Dia mau jemput. Tapi ini sudah hampir setengah 2. Haduh, bisa gak ya? Telat gak ya? Perasaan yang berkecamuk di dalam hati. Dia datanglah itu, saya cepat cepat juga. Pokoknya yang rempong banget soalnya takut telat. Di antarlah saya ke tempat pemberhentian minibus di Madiun. Karena jalannya berkelok kelok dan untuk menuju ke stasiun harus ke halte yang lain. Di dalam minibus itu saya duduk di samping bapak sopirnya. "Pak, bisa cepet nggak to pak?" Dan bapak sopirnya jawab. "Yah ini udah cepet, gak bisa dicepetin lagi". Saya dengan panik dan berkeringat menyuruh bapaknya agar mempercepat laju mobil "Saya besok ada interview. di Jakarta, pak. Ini penting. Byuh byuh mbok ya dicepetin".. "Ya udah nduk kamu pergi pake ojek aja. Turun di sini"
Saya langsung pergi ke tukang ojek, lari-lari. Langsung deh pak tukang ojeknya naikin harga. Saya bilang saya gak mau kalo segitu. Dengan tawar-menawar yang alot itu akhirnya udahlah kami pergi. Sampailah ke stasiun Madiun. Saya lihat orang-orang udah ga ada. Sepi! Saya lihat jam menunjukkan pukul 14:05. Aku telat! Parahnya cuma 5 menit! Sampe sampe pak satpamnya bilang "Yahhh, sekarang udah nyampek Solo keretanya mbak! Kok bisa telat sih?"
Mau menangis rasanya, aduh 5 menit aja udah telat naik kereta. Saya tanya ke penjual tiket di loket stasiun. Perjalanan untuk ke Jakarta hari ini full. Eksekutif, Bisnis, Ekonomi, HABIS! Oh betapa malangnya.. Saya lalu tanya ke bagian mbak mbak di customer servise. Katanya juga habis. Tapi yah mau gimana lagi, udah habis. Saya bener-bener nangis pas waktu itu. Kemungkinannya pergi udah gak ada. Tapi kemudian salah satu mbaknya bilang, bahwa ada satu buah tiket kereta ada. Kelas eksekutif. Bagaikan minum air di terik yang panas, akhirnya....*mataberkacakaca. Harganya waktu itu Rp. 420.000. Saya keluarkan semua uang saya, eh ternyata kurang Rp. 6.000. Saya tanya ke mbaknya. Tetep gabisa. Harganya pas. Tapi, gimanapun juga cuman Rp. 6.000 doang? Rasanya tu kayak ketinggalan kereta baru 5 menit dan ini udah..?? Aduh dekk,, ini sungguh menyebalkan.
Sebenernya ada uang lagi, di ATM. Tapi mesin ATM nya jauh banget, dan aku terancam gak bisa pergi. Keretanya udah mau berangkat dalam hitungan jam. Udah gak ada waktu lagi. Aku langsung ke luar, ketemunya bapak bapak tukang becak. Waktu itu saya sempat jualan pulsa, saya mau jual ke bapaknya. Kan pas ya Rp. 6.000. Dilihatnya saya bersedih gitu, dikasihlah uang 20.000. Bukannya mengemis, tapi bapaknya kasihan. Saya nolak. Saya maunya ya cuma Rp, 6000 aja. Gak lebih. Saya pergi ke customer servis dan ngasih uang itu ke mbaknya dengan puas. Saya akhirnya dapat tiket. HOREEEEE *menangisterharu

Perjalanan menuju ke Jakarta masih awalan, dan ini baru saja dimulai.
Stasiun Gambir. Pukul 06.00 pagi. 6 Juli 2014. 
Pagi yang cerah itu saya mulai dengan bangun penuh iler. Yeah, ada beberapa part yang harus di sensor karena keadaan saya pas di kereta berantakan. Tapi ya seperti biasanya, kereta memang selalu nyaman. Saya tidak merasa pusing sama sekali, apalagi mau mabuk. Di dalam kereta juga saya tidur dengan nyenyak. No problem with kereta lah.
Paginya saya langsung disusul sama temen di stasiun Gambir. Manis bin imut banget. Dia terkejut luar biasa. "Yah ampun Vik, ni Jakarta. Kamu pakai gamis? Boncengnya susah dong tapi, ya sudahlah kalau beg beg begitu". Dia bilang lagi "Vik, kamu keren ya, pertama kali ke Jakarta langsung liat monas". "Heh, emang iya? Mana sih monasnya?" Dia menunjuk ke luar "Cape deh, Itu lho!" Dan akhirnya kami jjp(alias jalan jalan pagi) dulu mengitari Monas 2-3 kali dengan perbincangan berlanjut yang entah macam apa ini. 
"Vik, ni gara gara kamu deh"
"Kok gara-gara aku sih?"
"Iya tuh mataharinya gak keliatan. Kamu ke Jakarta, Jakartanya yang langsung mendung"
"Emang iya?"
"Iya lah aku sebel kalo ada petir bin hujan dateng. Kemarin kemarin tu Jakarta cuaca cerah. Kamu cepetan pergi deh dari Jakarta. Huh"
"Ngusir nih ceritanya? Iya iyaa aku pergi kok tenang aja habis interview ini. Lagian siapa mau tinggal di Jakarta lama-lama. Gak bagus juga, polusi, macet lagi. Aku yang heran kok kamu betah di sini" dengan nada mengejek puas. Hahahah.

Ruang menegangkan dalam istana
Akhirnya sampai juga. Inilah Kedutaan Turki untuk Indonesia. Aku sudah di depan gerbangnya. Bendera Turki berwarna merah dengan Bulan dan bintang putih di tengahnya itu bertebaran di mana-mana. 4-5 satpam menunggu di pos. Semua barang bawaan tidak boleh dibawa ke dalam bahkan HP sekalipun. Cuma berkas untuk interview saja. Mengambil foto pun dilarang. Penjagaannya ketat sekali. Saya masuk dengan beberapa anak yang sudah ada di dalam. Sajadah Turki terbentang di mana-mana. Saya berkenalan dengan seorang imut dari Kediri yang kuliah di Airlangga. Namanya mbak Zahra. Dan mbak Vivi dari Aceh. Kami banyak ngobrol dan ternyata kedua orang ini sungguh menjadi kawan karib dalam kehidupan selanjutnya setleah interview ini. Beberapa sudah dipanggil. Sebenarnya tidak ada absen di kloter pertama pukul 11.30. Hanya acak saja dan tidak urut. Terserah kalau mau masuk dulu atau tidak. Saya sedang ngobrol dengan kedua kawan ini dan kami mendapat jatah paling akhir. Inilah perang sebenarnya sedang dimulai. Ketika saya masuk dengan perlahan, saya mengucapkan salam dan melihat ketiga orang Turki yang berumur sepertinya bapak bapak tersebut, ketiganya menjawab salam saya. Deg-deg an itu pasti, tapi gak boleh berlebihan takutnya malah gagal. Ya udah seperti biasa mereka menanyakan beberapa pertanyaan dalam bahasa inggris (udah lupa pertanyaannya seperti apa). Begitu dia tanya saya langsung jawab aja dengan nyantai dan lugas, namun padat isi. Entahlah apakah ini kebiasaan orang Turki, tapi ketika mereka bertanya sesuatu sebelum kamu jawab sampai titik mereka akan bertanya lagi hingga seakan akan mengintimidasi kamu dan seperti mengancam. Yang penting sih jangan grogi apalagi nervous soalnya senjata yang kamu butuhkan adalah kepercayaan diri. Di ruang interview tersebut saya juga menyodorkan beberapa senjata yang telah saya siapkan seperti; sertifikat organisasi, olimpiade, dan beberapa foto kegiatan sosial yang telah saya jalani termasuk juga foto foto berhubungan dengan seni ketika saya sedang menari Reog ketika masih SMA pada pagelaran festival Reog. Mereka sepertinya tertarik, kemudian saya lanjutkan penjabaran tentang rencana ke depannya dengan penuh semangat kenapa saya pantas untuk meraih beasiswa ini.
Namun di akhir interview, salah seorang Turki bilang kalo saya harusnya kuliah di Universitas Gadjah Mada. Hah? What? Saat itu saya langsung diberi sebuah souvenir flashdisk Turkiye Burslari dan saya keluar dari ruangan itu. Dengan lemas tentu saja. mbak Zahra masuk ke ruangan dan Mbak vivi memberi saya kata motivasi bahwa masih ada harapan. Saya terharu, dan begitu saja langsung keluar Istana megah itu.
Begitu keluar ternyata sudah mengantri beberapa anak yang mau interview untuk kloter kedua. Saya jelaskan kepada teman teman yang lain, untuk tidak nervous dan gugup.
Setelah interview yang mendebarkan itu, sorenya langsung pulang. Keesokan harinya saya di sms kalau Jakarta cerah kembali. 

1 comment:

  1. Kak perkenalkan aku Wazna, dari SMAN 1 Ponorogo. Aku mrinding mbak denger ceritanya! doakan ya, jika aku nanti bisa ngikut dapet beasiswa ini taun depan. makasih, btw aku udah add fb nya loh mbak :) kalo pulang ke ponorogo, kasih tau yaakkk??? jadi pengen ketemu hehehe! tanistigimiza memnun oldum ablacim :)

    ReplyDelete